📚KESATUAN WUJUD INDIVIDUAL (Wahdatul Wujud Syakhshi)

Salewangang Ilmu Maros-Ahli Irfan Aziz Nasafi dalam Risalah Maqsad Aqsha mengisyaratkan suatu bahasan tentang ahli wahdah dan menuliskan: Ahli wahdah mengatakan bahwa tidak ada jarak (jalan) dari kamu hingga ke Tuhan, karena wujud tidak lebih dari satu dan wujud itu adalah Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Suci, serta selain wujud Tuhan tak ada satupun wujud lain dan mustahil ada yang lain. Ahli ketunggalan (wahdah) mengatakan, apa yang tidak ada, tidak ada dan apa yang ada hanyalah Tuhan  Yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Kamu menyangka bahwa Tuhan ada dan kamu juga selain wujud Tuhan punya wujud lain, ini adalah kekhilafan (sahwan) yang sangat besar dan persangkaan yang salah. Wujud Tuhan adalah benar dan cukup. Persangkaan yang salah ini adalah jalan antara hamba dan Tuhan yang mana apabila salik tidak melewati persangkaan ini, ia tidak akan sampai kepada Tuhan.
Salah satu dari pembahasan paling penting Irfan Ibnu Arabi dan menjadi landasan permasalahan-permasalahan lain pemikiran irfannya adalah konsep wahdatul wujud syakhshi. Berasaskan teori ini maka entitas-entitas lainnya selain Hak Swt, semuanya adalah tajalli dan manifestasi Hak Swt, serta tidak ada satu entitas pun yang terpisah dari ketunggalan eksistensiNya.
Dengan demikian, dalam pandangan Ibnu Arabi, wujud adalah perkara tunggal dan perkara tunggal ini adalah wujud Hak Swt. Karena itu tidak ada wujud dan tidak ada maujud kecuali Hak Swt. Tidak dalam kevertikalanNya dan tidak dalam kehorizontalanNya, sebab wujud hakiki hanyalah wujud wajib Hak Swt:
“Dalam wujud tidak ada keserupaan dan juga tidak ada perbedaan. Sesungguhnya wujud adalah hakikat tunggal dan tidak ada sesuatu berhadapan dengan dirinya. Karena itu, tidak ada maujud tersisa kecuali Hak Swt. Jadi pada hakikatnya tidak ada ketersambungan satu dengan lainnya dan juga tidak ada keterpisahan. Berasakan ini maka burhan terhadap realitas menyimpulkan bahwa aku tidak melihat dengan kedua pandanganku ketika aku menyaksikan kecuali aku melihat realitasNya.” 
Tentu maksudnya, wujud hakikatnya tunggal. Ia tidak punya keserupaan dan juga tidak punya perlawanan. Karena itu, dalam syuhud arif realitas imkan ini yang merupakan sumber multiplisitas akan terhapus. Kecuali Dzat Hak Swt yang merupakan hakikat tunggal, tidak ada sesuatu yang lain tersisa. Dengan demikian, pada tingkatan ini tidak ada keterpisahan dan kejamakan, yang ada adalah ketunggalan hakiki dan seluruhnya terhapus dan tenggelam pada ketunggalan hakiki Hak Swt. Arif yang memandang dengan dua pandangan penglihatan dan basirah, tidak menyaksikan sesuatu kecuali realitas Hak Swt.  
Jadi, wahdatul wujud dalam pandangan maktab Ibnu Arabi adalah Wahdatul Wujud Syakhshi (Ketunggalan Wujud Individu). Yakni wujud tunggal tidak terbatas memenuhi seluruh realitas dan dalam bentuk tidak ada tempat sama sekali bagi wujud lain atau wujud kedua. Dengan kata lain, satu wujud yang tidak punya keterpisahan secara kesatuan dan tidak terbatas memenuhi seluruh teks realitas dalam seluruh derajat dan tingkatan. Wujud simpel  (basith), murni, dan absolut ini tidak lain adalah Hak Swt.
Jadi, maktab irfan Ibnu Arabi tidak menerima bentuk ketunggalan wujud bergradasi. Yakni mereka tidak menerima adanya kuat dan lemah wujud dalam asli wujud. Sebab menurut keyakinan mereka hanya terdapat satu wujud simpel, satu kesatuan, dan tidak terbatas yang mencakup dan meliputi seluruh realitas eksternal. Wujud itu adalah Hak Swt, dan selainNya tidak ada lagi wujud lain. Akan tetapi wujud tunggal individu ini memiliki tajalli dan manifestasi dalam bentuk bergradasi. Jadi kuat dan lemah tidak pada asli wujud, melainkan pada manifestasi. Kuat dan lemah ini meliputi yang paling sempurna hingga yang paling kurang sempurna dari manifestasi-manifestasi.
Dalam istilah urafa tajalli ini disebut Nafas Rahmani atau Hakikat Muhammadiyah yang mana pada setiap tingkatannya  Hak Swt memanifestasi dalam suatu bentuk. Yakni dalam suatu tingkatan memanifestasi sempurna (lebih kuat) dan pada tingkatan berikutnya memanifestasi kurang sempurna (lebih lemah).

Dalam Filsafat Islam terdapat pandangan tentang Ketunggalan wujud bergradasi. Pandangan ini dibangun oleh filosof Hikmah Muta’aliyah Mulla Sadra. Kendatipun pemikiran filsafat Sadra sendiri bisa dibagi pandangan awal dan pandangan akhir terhadap ketunggalan wujud; yang mana pandangan pertamanya adalah ketunggalan wujud bergradasi, akan tetapi pandangan akhir dan puncaknya adalah ketunggalan wujud individu. Menurutnya, seluruh realitas terbentuk oleh satu eksistensi yang tasykik atau bergradasi yang dimulai dari titik puncak yang tidak terbatas. Kemudian secara tingkatan demi tingkatan kewujudan melemah dan kemudian mengalami penurunan kewujudan hingga mencapai paling lemahnya tingkatan wujud, yang mana sesudah itu adalah ketiadaan murni.
Oleh karena itu, satu wujud dalam satu ketunggalan, yang menemukan aliran gradasi dalam bentuk tingkatan-tingkatan  kuat dan lemah, yang dimulai dari wujud tak terbatas kuat, yakni Hak Swt. Kemudian disusul tingkatan-tingkatan yang tak terbatas jumlahnya dari bermacam-macam wujud berasaskan kuat dan lemah kewujudannya hingga paling lemahnya tingkatan wujud yang dalam filsafat disebut dengan “Maddah Hayulani”.
Jadi dalam pandangan ini selain Hak Swt yang wujudNya memiliki kehakikian wujud, maujud-maujud mumkin juga mempunyai kehakikian wujud. Perbedaan di antara seluruh tingkatan-tingkatan wujud adalah dalam kuat dan lemahnya tingkatan kewujudan mereka.
Dengan demikian, perbedaan mendasar antara Ketunggalan wujud individu dan ketunggalan wujud tasykik adalah tinjauan terhadap maujud-maujud imkani; yang mana dalam irfan dipandang sebagai tajalli dan manifestasi Hak Swt yang tidak punya hakikat kewujudan, namun kewujudan mereka hanya sebatas kewujudan majazi, bukan hakiki. Sementara dalam tinjauan ketunggalan wujud bergradasi, maujud-maujud imkani, kendatipun mereka semua adalah wujud fakir dan wujud bergantung, akan tetapi dari sisi kewujudan memiliki kehakikian wujud.

Tafsiran  Menyimpang dari Wahdatul Wujud Syakhshi
Dalam perjalanan sejarah irfan dan tasawuf terdapat minimal tiga tafsiran yang tidak benar terhadap konsep ketunggalan wujud individu: 1. Hulul, 2. Panteisme, 3. Kenihilan dan keabsurdanan masiwallah.
1. Hulul dan Penyatuan
Salah satu tafsiran yang salah terhadap konsep wahdatul wujud syakhshi adalah pandangan bahwa Hak SWT hulul pada semua maujud-maujud dan Dia menyatu dengan wujud-wujud mereka. Dikarenakan pandangan yang salah ini banyak pemikir yang menyandarkan konsep ketuhanan irfan sebagai konsep hulul dan inkarnasi.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa sebagian dari sufi zahir dan jahil yang menisbahkan dirinya dengan urafa, secara resmi berpandangan hulul ini dan menyebarkannya sebagai ajaran irfan. Namun, para urafa besar dan muhakkik menafikan bentuk pandangan ini serta memandangnya sebagai bentuk pandangan batil irfan.
2. Pandangan lain yang salah dalam masalah ini adalah pandangan yang melihat bahwa ketika Hak Swt hulul pada semua maujud-maujud dan menyatu dengan mereka maka konklusinya semua mereka adalah tuhan. Pandangan ini sendiri bisa diurai secara terpisah dari pandangan hulul. Yakni ketika Tuhan tidak terbatas maka kelazimannya segala sesuatu adalah tuhan. Sebagian dari ungkapan urafa-urafa yang mengalami syatahiyyat menampakkan atas bentuk pandangan ini. Akan tetapi dengan bersandar kepada pandangan benar para pembesar urafa dan urafa muhakkik maka dapat disimpulkan bahwa pandangan ini juga adalah batil.
3. Kenihilan selain Tuhan
Menurut pandangan ini, karena Tuhan tunggal secara individu dan tidak terbatas maka kelazimannya tidak ada kemungkinan keberadaan wujud lain.  Konklusinya tidak ada sesuatu pun yang mempunyai realitas dan keaktualan. Dalam artian selain Hak SWT semuanya adalah khayalan, tawahhum, nihil, dan absurd. Konsepsi yang juga salah ini bahkan diikuti oleh banyak kalangan pemikir terpelajar dan menjadikannya sebagai representasi dari pandangan irfan. Hal ini lantas menuai kritik tajam dari filosof yang meyakini multiplisitas sebagai suatu realitas yang daruri dan badihi.

Karena itu, menurut mereka pandangan irfan yang mengingkari multiplisitas sama sekali adalah suatu pandangan yang batil.

Ilustrasi Hubungan Hak dan ManifestasiNya
Urfa terkadang menggunakan analogi untuk menggambarkan hubungan Tuhan dengan ciptaanNya. Tapi tentunya kita mesti pahami bahwa analogi tidak merepresentasikan hakikat sebenarnya. Ia hanya mendekatkan pemahaman kita terhadap suatu permasalahan. Makanya analogi tidak bisa digeneralkan dalam berbagai sisi dari satu subjek. Tapi ia hanya pada sisi-sisi tertentu saja yang mewakili sisi-sisi subjek yang digambarkannya.
Urafa dalam mengilustrasikan hubungan Hak dan manifestasiNya, kadang menggambarkannya dalam bentuk hubungan seseorang di hadapan cermin dengan gambar-gambar yang ada dalam cermin.
Jika sekiranya satu kamar terdapat berbagai jenis cermin, lantas seseorang masuk dalam kamar tersebut, maka terjelmalah ribuan gambar dari orang tersebut dari cermin-cermin yang ada sesuai kapasitas pancarannya terhadap bentuk, warna, dan ukuran orang tersebut. Dalam keseluruhan gambar-gambar ini, kendatipun terlihat ribuan orang dengan berbagai kekhususannya, tetapi sebenarnya keseluruhan itu hanya jelmaan dan tajalli dari satu orang yang berdiri di dalam kamar. Apabila terdapat persangkaan bahwa terdapat banyak orang dalam kamar tersebut, maka pecahkanlah semua kaca supaya tampak jelas hakikat ketunggalannya.
Urafa mengatakan, perumpamaan Hak dengan maujud-maujud alam seperti demikian ini. Yakni semua maujud-maujud alam, dari akal pertama hingga materi pertama, semuanya adalah cerminan-cerminan wajah Hak Swt. 
Setiap maujud menampakkan seukuran kapasitas dirinya Hak Swt. Karena itu penampakan mereka semua memunculkan multiplisitas. Tapi pada hakikatnya hanya satu realitas tunggal. Cermin-cermin yang beragam inilah yang menampakkan  hakikat tunggal ini menjadi maujud-maujud jamak.   
Di riwayatkan dalam Kitab Tauhid Syekh Shaduq dialog antara Imam Ridha as dengan Imran Shabi bahwa ketika Imran bertanya tentang hubungan Hak Swt dengan makhluk,  Apakah Tuhan dalam makhluk (hulul) ataukah makhluk dalam Hak, dan jika kedua-duanya saling asing dan tidak punya hubungan, bagaimana salah satunya menjadi ayat dan tanda lainnya?. Beliau as berkata:
جلَّ يا عمران عن ذلك ليس هو في الخلق و لا الخلق فيه تعالي عن ذلك و سأعلمك ما تعرفه به و لاحول و لا قوة إلاّ بالله، أخبرني عن المرآة أنت فيها أم هي فيك؟ فإن کان ليس واحد منکما في صاحبه فبأي شيء استدللت بها علي نفسك؟
Maha Tinggi dan Agung Dia wahai Imran dari hal demikian, Dia tidaklah dalam makhluk (penafian konsep hulul atau ingkarnasi) dan Tidak ada makhluk dalam Hak Swt... . Coba berikan gambaran padaku tentang cermin, apakah kamu di dalamnya atau ia dalam kamu? Jika tidak satupun dari kamu didalam lainnya, maka dengan apa kamu berdalil dengannya atas dirimu? (Yakni dengan melihat wajah di cermin, kamu memperoleh pengetahuan tentang dirimu).
Kelebihan perumpamaan ini adalah gambar memiliki penampakan pada cermin, tetapi ia bukanlah wujud sebenarnya. Demikian juga ia tidaklah dalam cermin, sebab tidak ada suatu benda apapun dalam cermin, dan juga tidak didalam diri sipemandang, serta tidak dalam ruang antara keduanya, sebab diantara keduanya hanyalah sinaran cahaya.
Di samping itu meskipun tidak ada sesuatu dalam cermin, akan tetapi ia memperlihatkan sesuatu sesuai dengan kondisi-kondisinya.
Tentu ilustrasi ini hanya mendekatkan kita kepada pemahaman konseptual hubungan Tuhan dan makhlukNya, akan tetapi untuk sampai kepada pengetahuan hakiki mestilah dengan pengetahuan hudhuri dan syuhudi irfani.
Oleh karena itu, seluruh alam adalah gambaran-gambaran cerminan Hak Swt dan Hak pada seluruh cermin-cermin ini bertajalli dan memanifestasi seukuran keluasan eksistensi dan potensi-potensi mereka. Semua mereka adalah ayat-ayat dan tanda-tanda Tuhan. Mereka bukanlah hakikat ada, tapi mereka menghikayahkan hakikat wujud. Tuhan berfirman:

فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah: 115).
Ketika seluruh gambar-gambar cermin lenyap dan sirna (kiamat kubra) maka yang tampak hanyalah ketunggalan wujud dan tauhid Hak Swt:
لمن الملک الیوم لله الواحد القهار،
کل شیء هالك الا وجهه.
Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan (QS. Al-Ghafir: 16).
Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah Swt (QS. Al-Qasas: 88).
Masih terdapat permisalan-permisalan lainnya hubungan antara Hak dan makhluk yang diutarakan urafa, seperti permisalan laut dan ombak-ombaknya, benda dan bayangan-bayangannya, serta cahaya dan pancaran warna-warninya. Akan tetapi permisalan yang kita bawakan ini cukuplah menggambarkan apa yang dimaksudkan. Sebab, seperti yang diisyaratkan sebelumnya, analogi hanya sebatas mendekatkan pemahaman yang bersifat akal lewat sesuatu yang terinderai. Karena itu bisa saja dari satu sisi mendekatkan, tapi di sisi lain malah menjauhkan.

Ust Syamsunar Nurdin
Pembimbing Filsafat & Irfan Al Hikmah Mksr

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jum'at Syamsir N || Menyembelih Binatang Diri Dengan Hakikatil Muhammadiyah

RASIONALITAS KURBAN: Hancurkan Berhala Cintamu Itu: Sembelilah Dia

MENDEDAH PERNIKAHAN DUA PENGHULU AGUNG: Penghulu Para Washy & Penghulu Wanita Seluruh Alam