AKIL DAN BALIGH DALAM FILSAFAT

Salewangang Ilmu Maros - Secara etimologi, balig berarti sampai. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, balagho, yablugu, bulugh yang artinya sampai. Kata ballagho yuballigho, tabligh, muballigh dst yang berarti menyampaikan, juga seakar dengan kata baligh.

Dari ranah terminologi, balig berkaitan dengan hukum fiqh Islam. Artinya, seseorang yang telah sampai pada usia taklif, dikenakan kewajiban-kewajiban dalam agama semisal sholat, puasa dan semacamnya.

Dalam bahasa Indonesia, balig dipadankan dengan dewasa atau cukup umur, dilawankan dengan kanak-kanak atau belum cukup umur.

Masa balig bisa ditandai dengan usia 15 tahun bagi laki-laki atau telah ihtilam. Adapun bagi perempuan, biasanya telah balig ketika memasuki usia 9 tahun atau telah menstruasi. Secara akal, dikatakan balig ketika telah mampu membedakan mana baik mana buruk. Sehingga, balig biasa dipadukan dengan akil, dikatakan akilbalig.

Dalam filsafat kita, neraca kedewasaan tidak semudah itu. Balig tidak diukur dari kuantitas usia, tapi dari kualitas pilihan. Tidak pula dilihat dari gejala-gejala fisiologis, melainkan dari gerak ikhtiari. Dewasa tidaknya seseorang dilihat dari pilihan-pilihan hidupnya, apa yang dikorbankan untuk mendapatkan apa.

Sederhananya, anda masih kanak-kanak bila mengorbankan yang bernilai tinggi demi mendapatkan yang nirnilai. Anda belum dewasa jika mengorbankan non materi demi materi. Anda masih bocah jika rela hina demi dunia. Anda belum cukup umur bila terjebak dalam pandangan dunia materialisme.

Dalam hemat Quran, duniawisme adalah tanda kekanak-kanakan. Firman_Nya, "tinggalkanlah orang yang berpaling dari peringatan kami, yang tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia. Itulah kadar ilmunya...(An-najm 29-30).

Duniawisme adalah bahasa lain dari materialisme. Uniknya, dalam ayat tersebut, duniawisme bukan sekedar mengingkari akhirat. Lebih dari itu, mengimani akhirat namun lebih memilih dunia, juga tergolong duniawisme. Bahkan, mengimani akhirat, menginginkan akhirat, namun akhirat dipersepsi tak ubahnya seperti dunia kecuali beda kuantitas dan kualitas semata, juga termasuk duniawisme. Tepatnya, duniaisasi akhirat, materialisasi nonmateri.

Yang terakhir di atas, semisal mereka yang militan dalam agama demi beroleh banyak wanita dengan kualitas selalu perawan, di akhirat kelak. Semua mereka belum dewasa, belum balig, belum cukup umur dan masih kanak-kanak.

Dari sini, tampaklah urgensi pengetahuan. Pada tahap awal, anda perlu meningkatkan pengetahuan anda, mengenali bentangan eksistensi dan gradasi nilainya. Pasalnya, pengetahuan adalah landasan pilihan.

Pada tahap selanjutnya dan yang lebih penting dari pengetahuan adalah implementasi. Betapa banyak yang mengetahui kebenaran, namun laksana lebah tanpa madu, pengetahuannya tidak membumi.

Kata Ali ibn Abi Tholib:
رب عالم قد قتله جهله و علمه معه لا بنفعه
Betapa banyak yang berilmu dibunuh oleh kejahilannya. Ilmunya bersamanya, namun tak bermanfaat baginya.

Relay: Syamsir Nadjamuddin
Penulis: Alfit Lyceum (Republik Sofiah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jum'at Syamsir N || Menyembelih Binatang Diri Dengan Hakikatil Muhammadiyah

RASIONALITAS KURBAN: Hancurkan Berhala Cintamu Itu: Sembelilah Dia

MENDEDAH PERNIKAHAN DUA PENGHULU AGUNG: Penghulu Para Washy & Penghulu Wanita Seluruh Alam