MEMODERASI JALAN MENUJU NABI MUHAMMAD SAW.

Salewangang Ilmu Maros-Pepatah lama mengatakan "Banyak Jalan Menuju Roma ( mīlle viae dūcunt hominēs per saecula Rōmam, Latin ). Artinya Mencapai tujuan akhir yang sama tentu bukanlah masalah manakala tujuan akhir tersebut ditempuh dengan metode dan strategi berbeda, kata para ahli.

Jalan yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah jalan menuju ke sebuah negeri dekat maupun nun jauh. Pula bukan jalan yang hanya merupakan bahagian dari eksistensi alam yang dibatasi jarak ruang dan waktu. 
Jalan itu tidak lain adalah menempuh sebuah tuntunan ( tumpuan ) untuk sampai kepada Sang Penuntun itu sendiri, dialah Nabi Muhammad SAW.

Secara logis, sebuah perjalanan mensyaratkan jarak tempuh antara subjek ( pejalan ) dengan obyek ( tujuan perjalanan ) sekaligus wajibnya ada sebuah jalan dan tuntunan.

Berdasarkan hal tersebut, Maka saat ini kita mulai mengeksplorasi potensi diri dan jalan jalan itu dengan beragam cara sampai kita menemukan strategi yang tepat untuk sampai kepada tujuan akhir ( Muhammad )

Secara sederhana eksplorasi potensi manusia agar mempunyai cara pandang dan sikap, serta praktik terhadap jalan-jalan itu sekaligus menjadikan dirinya sebagai cermin esensi tuntunan itu untuk sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Jika Perjalanan menuju kepada Nabi Muhammad SAW sebagai tujuan akhir, sebagai mana para Ahluth Thariqah mengistilahkan sebagai امتهاءالعابدين, maka setidaknya, manusia mempunyai dua bentuk kategori perjalanan, yakni Perjalanan syar'i/lahir dan perjalanan takwini/batin ( Muhammad Syatha )

Secara Irfani, Perlu diketahui bahwa sebagai ummat yang ingin menempuh perjalanan itu, setidaknya memahami dan meyakini akan kehadiran Muhammad selaku sosok sayyidnya wujud dan nabinya akhir zaman, meski secara ruang dan waktu, ia memiliki jarak dengan ummat namun bagi para pesuluk beliau merupakan kehadiran transenden sekaligus immanen.
Dan untuk mengenal kehadirannya adalah dengan bantuan para pengawal agama yang dibawanya dan yang memiliki warisan kenabian selaku pewaris diri beliau.

Tugas dan kewajiban umat manusia adalah mengenal para pewaris itu, supaya mereka bisa terbimbing secara individual, sosial, dan masyarakat. 

Imam Ja'far Ash Shadiq dalam hal ini berkata: 

انكم لا تكون صالحين حتي تعرفوا و لا تعرفوان حتي تصدقوا و لا تصدقوان حتي تسلموا. 

“Sesungguhnya kalian bukanlah orang-orang saleh hingga mengenalnya, dan tidaklah kalian mengenalnya hingga membenarkannya, dan tidaklah kalian membenarkannya hingga menerimanya.”
Dalam mengomentari riwayat ini, Filsuf Mulla Shadra berkata:
"Tujuan dari ungkapan ini adalah menjelaskan kebutuhan manusia kepada pemimpin/imam yang hak dalam aspek ketaatan mereka pada Allah Swt. Tidak sempurna dan tidak terbangun ketaatan tersebut kecuali dengan makrifat dan pembenaran dalam bentuk yakin. Hal itu tidak mungkin kecuali mencari para Auliya Allah, wilayatul amr, pintu-pintu ilmu, hidayah, dan pewaris kenabian.
Kenapa, karena manusia yang diperkenalkan disini adalah menusia yang mempunyai dimensi zhahir dan dimensi batin yang mempunyai hubungan kokoh dan tidak terpisahkan.

Beliau adalah cerminan mikrokosmos yang juga terkandung makrokosmos, sebab dalam dirinya terhimpun seluruh sifat dan karakteristik alam semesta, dari alam materi hingga alam non materi.
Di antara wujud yang ada, hanya beliaulah yang dapat menampung seluruh hakikat realitas. Sebab dirinya merupakan manifestasi dari nama Allah Swt, sementara di dalam nama Hak Swt ini terkandung seluruh nama-nama lainnya. Hakikat kesempurnaannya (Insan Kamil) berada dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi, alam mitsal, alam akal, hingga maqam wahidiyah dan bahkan sampai pada maqam ahadiyah. Hanya Rasulullah SAW yang mampu sampai pada maqam ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
   ثم دنا فتدلي فكان قاب قوسین او ادنی  
“Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” 
Juga dalam suatu hadits, Rasulullah Saw bersabda: “Pernah satu saat diriku bersama dengan Allah Swt dimana pada saat itu, baik rasul maupun malaikat muqarrab tak dapat menyertaiku”.
Dari sini, Guru Ifan Ust Syamsinar Nurdin dalam sebuah majelis pengkajian Irfan Teoritis dan Hikmah Islami mengatakan, "kita akan melihat bahwa hakikat Rasulullah Saw (paling tingginya derajat Insan Kamil) memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah (makhluk). 
Aspek Ilahiyah pada dirinya dapat ditinjau dalam beberapa hal;
Pertama, merupakan cermin dari Hak Swt. 
Maksud dari cermin di sini bahwa ia merupakan jelmaan dari seluruh nama-nama Ilahi.
Kedua, tercipta berdasarkan bentuk Ar-Rahman. Bentuk di sini bukan bentuk dalam pemaknaan material akan tetapi yang dimaksud dengan bentuk adalah sesuatu yang nampak pada sesuatu tersebut, dan yang nampak dalam batin Nabi Saw adalah nama Ar-Rahman Ilahi. Karena itu beliau adalah Rahmatan lil-alamin: 
وما ارسلناک الا رحمة للعالمین  
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, kecuali (menjadi) rahmat semesta alam”. ( Al Anbiya:107)

Penulis: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag
Giat: Penghulu, Budayawan, Seniman dan Praktisi Tarekat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jum'at Syamsir N || Menyembelih Binatang Diri Dengan Hakikatil Muhammadiyah

RASIONALITAS KURBAN: Hancurkan Berhala Cintamu Itu: Sembelilah Dia

MENDEDAH PERNIKAHAN DUA PENGHULU AGUNG: Penghulu Para Washy & Penghulu Wanita Seluruh Alam